Archive for 2022
Meretas Jalan Damai Bagi LGBT di Indonesia
Panasnya
perdebatan mengenai kasus tampilnya Ragil bersama pasangannya dalam Corbuzier
Podcast pekan lalu, menjadi pertanda bahwa perang urat saraf mengenai
problematika LGBT belum tuntas di Indonesia. Di satu sisi para aktivis LGBT memperjuangkan isu-isu terkait dengan kesetaraan gender dan seksualitas, namun
di sisi lain masyarakat secara umum masih belum dapat menerima atau bahkan
menentang keberadaannya. Untuk itu, penulis akan mencoba untuk mendudukkan
problematika ini – khususnya terkait dengan orientasi seksual – dengan mencoba
mencari akar masalah yang ada. Sehingga kemudian dapat ditemukan jalan
tengahnya dengan menggunakan pendekatan keindonesiaan.
Makna Orientasi Seksual dan Asal Usulnya
Menurut American Psychological Association atau Asosiasi Psikolog Amerika (APA), orientasi seksual didefinisikan sebagai ketertarikan emosional, romantis, dan/atau seksual. Pada umumnya orientasi seksual dikategorikan menjadi tiga. Pertama, heteroseksual – biasa disebut straight atau lurus –, yang merupakan ketertarikan terhadap lawan jenis kelamin. Kedua homoseksual, yakni ketertarikan terhadap sesama jenis kelamin – disebut gay untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan –. Serta terakhir, biseksual untuk ketertarikan terhadap kedua jenis kelamin. Meski demikian, masih terdapat kategori lain seperti aseksual, panseksual, dan lain sebagainya. Selain itu, APA juga menyebutkan bahwa orientasi seksual juga terkait dengan identitas, perilaku, dan keanggotaan dalam komunitas tertentu terkait dengan ketertarikan tersebut.
Orientasi
seksual juga bukan suatu hal yang berkembang dalam ruang hampa, terdapat dua
faktor yang secara umum dipercayai menjadi latar belakang kemunculannya.
Pertama, faktor internal yang terkait dengan hal-hal biologis seperti genetika,
hormonal, dan urutan kelahiran atau fraternal birth order. Kedua, faktor
eksternal terkait dengan keadaan lingkungan sosial pasca kelahiran hingga fase remaja,
dipercaya dapat memengaruhi perkembangan orientasi seksual. Dalam sebuah
wawancara di NET News, dr. Boyke Dian Nugraha pada 2019, menyebutkan bahwa faktor
lingkungan ini memberikan sumbangsih sebesar 70% terhadap perkembangan
orientasi seksual. Meski demikian, APA menyebutkan bahwa belum ada konsensus
ilmiah mengenai faktor spesifik yang memengaruhi perkembangan tersebut.
Pro-Kontra Kenormalan Orientasi Seksual di Dunia
Permasalahan
mulai muncul ketika membahas mengenai normal atau tidaknya beberapa
kategorisasi orientasi seksual. Tidak dapat dipungkiri, terdapat konsensus
global yang dimotori oleh APA, menyebutkan bahwa seluruh kategori tersebut sebagai
variasi normal dan positif atas orientasi seksual manusia, didapat sejak lahir,
serta bukanlah bentuk dari gangguan mental. Hal ini lah yang menjadi dasar bagi
kaum LGBT yang ultra-liberal untuk mengampanyekan apa yang diyakininya. Namun
di sisi lain, tidak sedikit juga elemen masyarakat – khususnya kelompok-kelompok
agama – yang menganggap orientasi selain heteroseksual atau straight
sebagai penyimpangan sosial, keabnormalan mental, bahkan penyakit kejiwaan,
serta menentang dengan keras kehadirannya. Mereka menganggap bahwa orientasi
seksual adalah sebuah gaya hidup yang dipilih, dengan kata lain bukan merupakan
sebuah hal yang “given” atau diterima sejak lahir.
Penolakan
kelompok-kelompok agama, khususnya agama samawi – seperti Yahudi, Kristiani,
dan Islam –, pun tidak lah muncul di ruang hampa. Terdapat sebuah kisah masyhur
mengenai kaum Sodom, Gomora yang merupakan umat Nabi Luth, telah hadir dan
diyakini sejak ketiga agama samawi itu ada. Mereka ditimpai laknat dan azab
dari Tuhan sebagai akibat dari perilaku homoseksualitas yang mereka lakukan.
Hal ini semakin dikuatkan dengan bukti-bukti fisik akan kebenaran dan kenyataan
kisah-kisah tersebut saat ini. Selain itu, masyhur pula kisah mengenai dikecualikannya
istri Nabi Luth, ketika Tuhan memerintahkan Nabi Luth untuk menyelamatkan
keluarga dan umatnya yang taat, dari laknat dan azab yang ditimpakan kepada
kaum Sodom. Dalam keyakinan umat Yahudi dan Kristiani, kisah-kisah ini termaktub
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, seperti; dalam Kitab Kejadian
(19:1-28), Matius (10:14-15), Matius (11:20-24), Lukas (17:28-30) dan lain
sebagainya.
Menariknya, agama Islam yang datang beberapa abad setelah mapannya agama Yahudi dan Kristiani, membenarkan kisah-kisah tersebut secara serupa, meski beberapa detilnya tidak sama. Kisah-kisah ini termaktub beberapa surah dalam Al-Qur’an seperti: Al-Ankabut (29:28-35); Hud (11:77-83); dan lain sebagainya. Dalam kitab Qishashul Anbiya atau Kisah Para Nabi, Ibnu Katsir juga menjelaskan lebih detil mengenai kisah Nabi Luth ini. Pada suatu ketika, Allah SWT memerintahkan dua malaikat untuk bertamu di kediaman Nabi Luth, dengan menyerupai laki-laki yang amat tampan, untuk membawa pesan akan laknat dan bencana terhadap kaum Sodom. Mengetahui adanya dua tamu yang sangat tampan, istrinya malah menceritakannya kepada masyarakat Sodom. Dalam hal ini, ulama mengidentifikasi istrinya itu sebagai istri yang durhaka terhadap Nabi Luth, bukan penyelingkuh baik dengan sesama maupun lain jenis. Selain itu, kedua malaikat tersebut juga membawa pesan bahwa umat Nabi Luth yang beriman akan diampuni, kecuali istrinya.
Hadirnya
gerakan LGBT tentu tidak hanya berkaitan dengan keyakinan seseorang akan normal
atau tidaknya orientasi seksual selain heteroseksual. Gerakan LGBT harus
diakui, mau tidak mau, berimplikasi juga terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan. Tuntutan-tuntutan gerakan ini seperti legalisasi pernikahan
sesama jenis dan penerapan UU anti diskriminasi atas kebebasan untuk
menyuarakan pandangannya tentu akan menuai pertentangan, baik secara lembut
hingga sangat keras dari orang-orang yang meyakininya sebagai sebuah kesalahkaprahan.
Di AS sendiri, dalam sejarahnya, terdapat segudang contoh diskriminasi,
kekerasan verbal hingga fisik dialami oleh kaum LGBT.
Di dalam negeri, kaum LGBT tidak atau belum memiliki legal standing yang jelas, terkait pelarangannya maupun pembolehannya di Indonesia. Mengutip apa yang dituliskan oleh Mahfud MD di akun Instagram resminya pada 13 Mei 2022 – dalam konteks menanggapi kontroversi Corbuzier Podcast ketika mengundang Ragil bersama pasangannya –, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila belum semuanya menjadi norma hukum, terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perdebatan sengit masih dan selalu terjadi antar DPR maupun Civil Society Organization (CSO), ketika membahas mengenai HAM dalam perundang-undangan terkait dengan LGBT.
Menurut hemat penulis, pertentangan antara pro dan
kontra sering kali berhulu pada pemahaman HAM yang tidak berketuhanan dan tidak
berperadaban, untuk yang mereka yang pro, serta penerapan nilai-nilai ketuhanan
yang tidak berperikemanusiaan dan tidak berperikeadilan, untuk mereka yang
kontra. Di satu sisi, gerakan-gerakan LGBT selalu mengampanyekan pemahaman
ultra-liberalnya dengan selalu menekankan pada prinsip-prinsip HAM dalam
konvensi-konvensi internasional, namun tanpa mau menerima bahwa Indonesia
adalah negara sekaligus bangsa yang berketuhanan. Selain itu, perjuangan HAM
yang dilakukannya sering kali ahistoris dengan sejarah peradaban umat manusia
itu sendiri. Mereka menolak fakta sejarah bahwa seluruh masyarakat Sodom yang
melegalkan persetubuhan sesama jenis telah dibumihanguskan oleh bencana.
Di sisi lain, mereka yang memperjuangkan prinsip
ketuhanan, dalam praktiknya sering kali melupakan bahwa mereka harus memperlakukan
mereka yang non-heteroseksual secara manusiawi, serta harus dilandasi oleh
sikap adil sejak dalam pikiran, sekali pun mereka tidak sepakat atau bahkan
membenci orientasi seksual yang berbeda dengan heteroseksual. Hal ini dapat dilihat
pada komentar-komentar warganet atas viralnya konten Corbuzier Podcast yang
menyiarkan Ragil dan pasangannya, di kolom komentar konten tersebut maupun di
media-media sosial lain yang menunjukkan hujatan, caci maki, serta bentuk-bentuk
kekerasan lainnya dilontarkan kepada Deddy maupun Ragil. Komentar-komentar
tersebut bahkan banyak yang tidak membahas isi kontennya itu sendiri – terlepas
dari apakah mereka benar-benar melihat konten tersebut secara utuh maupun tidak
–, atau bahkan melontarkan argumentasi-argumentasi tanpa dasar sama sekali.
Memandang Orientasi Seksual yang Berbeda Sebagai Kelainan, Bukan Penyimpangan
Dengan
tidak secara naif menutup mata terhadap hasil-hasil konsensus ilmiah mengenai
adanya faktor-faktor biologis yang memengaruhi perkembangan orientasi seksual, penulis
sepakat bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan mentalitas ataupun gangguan
kejiwaan. Hal ini tentu akan sangat kontras dengan pandangan mayoritas
masyarakat, khususnya seperti apa yang disebutkan oleh Gus Dur pada 2010, bahwa
orientasi seksual selain heteroseksual adalah salah satu bentuk dari penyakit
kejiwaan. Penulis lebih sepakat dengan pernyataan dr. Boyke yang menyebutkan bahwa
orientasi seksual selain heteroseksual, akan lebih tepat dipandang sebagai
kelainan, bukan penyimpangan.
Terminologi
ini pun tentu tidak dipilih dari ruang hampa. Ini merupakan implikasi dari kenormalan
yang harus dipandang secara jernih sebagai sebuah artefak keyakinan sebuah
bangsa. Karena kenormalan tersebut terbentuk dari nilai-nilai yang terkandung
dalam sejarah, kebudayaan, serta falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara
yang diyakini bersama. Dengan kata lain, orientasi seksual selain
heteroseksual dapat disebut “kelainan” karena berbeda dengan pemahaman yang diyakini oleh bangsa Indonesia yang nilai-nilai dan falsafah
kehidupannya termaktub dalam Pancasila. Sehingga, kelainan orientasi seksual
tersebut harus dipandang sama seperti kelainan-kelainan lain yang dapat dipicu
oleh faktor-faktor biologis maupun faktor pengalaman pasca kelahiran.
Berangkat
dari terminologi ini, orientasi seksual sudah seharusnya dapat diubah. Penulis tidak
menutup mata, bahwa penelitian-penelitian terkait dengan upaya pengubahan orientasi
seksual atau sexual orientation change efforts (SOCE) seperti
psikoterapi, telah menunjukkan banyak kegagalannya untuk mengubah kelainan
orientasi seksual tersebut. Terlebih, APA memperingatkan bahwa upaya-upaya pengubahan
tersebut akan menimbulkan dampak negatif seperti tingkat depresi, kecemasan,
penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, serta perasaan ingin bunuh diri yang
akan meningkat dua kali lipat. Namun penulis berpendapat, seharusnya
upaya-upaya pengubahan tersebut tidak ditutup hanya karena hal-hal tersebut.
Upaya-upaya
pengubahan yang dapat dilakukan sangat lah beragam. Upaya ini dapat dilakukan
dengan bermacam cara melalui berbagai bentuk pendekatan seperti psikologis,
medis, atau agama dan spiritual. Lebih jauh lagi, dengan adanya perkembangan
teknologi seperti rekayasa genetika, terapi hormon, dan lain sebagainya, seharusnya
juga dapat menjadi solusi bagi upaya pengubahan tersebut. Meski rekayasa
genetika terhadap tubuh manusia masih dilarang dalam kode etik sains maupun
medis, tidak dapat dipungkiri masih ada kemungkinan untuk menggunakan cara-cara
tersebut demi mengubah dan memperbaiki hajat hidup manusia. Seluruh kemungkinan
masih terbuka secara luas.
Jalan Damai Bagi Pro-Kontra LGBT di Indonesia
Kendati
kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah orientasi seksual masih terbuka secara
luas, upaya pengubahan tersebut tidak boleh dipaksakan agar dilakukan oleh
penyandang kelainan orientasi seksual. Dengan kata lain, upaya pengubahan harus
berangkat dari kesadaran pribadi. Dalam hal ini, upaya-upaya diskriminasi, bullying, maupun kekerasan lainnya untuk merenggut
hak-hak atas kesadaran tersebut dalam bentuk apa pun harus diperangi. Mereka memiliki
hak asasi untuk menentukan pilihan dengan kesadaran mereka sendiri secara penuh,
baik untuk mengubah atau membiarkan kelainan yang mereka sandang, dan hal ini
tentu dijamin oleh Undang-Undang yang ada di Indonesia. Serupa dengan
pernyataan Gus Dur, penulis mempertanyakan bahwa untuk apa fobia, menolak,
apalagi menentang para penyandang kelainan?
Selain itu, hak-hak asasi yang dimiliki oleh
penyandang harus tetap dilindungi. Penyandang kelainan orientasi seksual berhak
untuk mendapatkan perlindungan atas pililihannya untuk menikah dan berketurunan
atau tidak, pekerjaan, aset-aset fisik maupun intelektual, ketenangan batin,
serta hak-hak lain yang dimilikinya seperti manusia normal lain. Segala bentuk
kontribusi positif mereka untuk masyarakat juga harus tetap dihargai. Penghargaan
atas HAM ini lah yang menjadi realisasi dari cita-cita kemerdekaan bangsa
Indonesia. Para aktivis anti-LGBT harusnya dapat menyadari dan menerima kemerdekaan
yang mereka miliki, sehingga mereka tidak menjadi “penjajah” bagi saudara
sebangsanya sendiri.
Kendati
demikian, layaknya seorang individu yang terlahir buta warna, penyandang juga
sudah seharusnya menyadari bahwa dengan memiliki kelainan orientasi seksual, mereka
tidak akan dapat menikmati hak-haknya selayaknya manusia normal pada umumnya,
terlebih di Indonesia. Jika individu yang terlahir buta warna tidak dapat
menikmati haknya untuk menikmati pemandangan alam seperti masyarakat pada
umumnya, para penyandang kelainan orientasi seksual seharusnya juga sadar bahwa
mereka tidak dapat melakukan persetubuhan atau bahkan pernikahan sesama jenis
di Indonesia. Dengan kata lain, ketertarikan dengan sesama jenis tidak perlu
diekspresikan dengan melakukan cara-cara tersebut.
Dalam
kaitannya dengan identitas, seseorang mungkin dapat terlahir dengan jenis
kelamin, gender, maupun orientasi seksual tertentu. Seorang individu mungkin
bisa dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki, dengan gender feminin lebih
dominan dalam dirinya, serta dengan orientasi selain heteroseksual. Kendati
demikian, menjadi atau mendominasikan identitas diri sebagai selain
heteroseksual adalah hal yang berbeda. Satu-satunya hal yang pasti adalah ketika
seorang individu dilahirkan di Indonesia, mau tidak mau ia harus menerima identitas
sebagai orang Indonesia dan menerima Pancasila sebagai landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, mau tidak mau ia harus menerima
konsensus kenormalan yang disepakati oleh bangsa Indonesia. Jika para aktivis
LGBT di Indonesia memiliki pemikiran yang terbuka, seharusnya mereka menyadari
dan menerima dengan lapang dada akan hal ini serta tidak menutup rapat
kemungkinan upaya-upaya untuk pengubahan orientasi seksual.
Terakhir, meski legal standing terkait LGBT ini belum dirumuskan, dengan tulisan ini, penulis
berharap agar dapat mendudukkan permasalahan ini dengan kepala yang dingin. Penulis
yakin masyarakat dengan kebijaksanaan yang dimilikinya mampu menangani
permasalahan ini dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai yang termuat dalam
Pancasila. Sehingga tanpa peraturan yang ketat, para penyandang kelainan
orientasi seksual harusnya dapat hidup dengan layak di Indonesia. Seperti
analogi kambing dan pagar, manusia dengan akal budi yang dimilikinya tidak
perlu dipagari dan diatur secara ketat layaknya kerumunan kambing. Dengan kata
lain, masing-masing pihak (baik aktivis LGBT atau anti-LGBT) harus pandai
menahan diri, sehingga tidak menimbulkan perpecahan bagi persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Tabik.
Referensi dan Bacaan Lebih Lanjut
American Psychological Association. 2009. Resolution on Appropriate Affirmative Responses to Sexual Orientation Distress and Change Efforts. [online] Available at: <https://www.apa.org/about/policy/sexual-orientation> [Accessed 12 May 2022].
American Psychological Association.
2011. Sexual orientation and gender identity. [online] Available
at: <https://www.apa.org/topics/lgbtq/sexual-orientation> [Accessed 13
May 2022].
Mansur, S., 2017. Homoseksual dalam
Perspektif Agama-Agama di Indonesia. Aqlania, 8(1), p.21.
National Association for Research &
Therapy of Homosexuality (NARTH). 2008. The A.P.A. Normalization of
Homosexuality, and the Research Study of Irving Bieber [Archived Version].
[online] Available at:
<https://web.archive.org/web/20101125120426/http://narth.com/docs/normalization.html>
[Accessed 13 May 2022].
Official NET News, 2019. Sex
& Life: Apa Sih Bedanya Penyimpangan dan Kelainan Orientasi Seksual?.
[video] Available at: <https://www.youtube.com/watch?v=QAjAFYKKggw>
[Accessed 12 May 2022].
Robinson, B., 2019. Divergent beliefs
about the nature of homosexuality. [online] Religious Tolerance. Available
at: <http://www.religioustolerance.org/hom_fixe.htm> [Accessed 13 May
2022].